Author Archives: Abdul Manan

Batubara atau Gas? Lebih Effisien atau Lebih Murah?

Lebih murah atau lebih effisien, listrik dari PLTU bahan bakar Batubara atau Combined Cycle Power Plant  atau (PLTGU) bahan bakar gas? Pertanyaan ini adalah sering kita dengar di dunia ketenagalistrikan khususnya disisi owner atau konsultan pembangkit. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita bedah, apa saja  sih komponen pembentuk harga produksi listrik antara PLTU dan PLTGU.

Komponen utama pembentuk biaya produksi listrik dibentuk dari Performa pembangkit dan Harga Bahan bakar.

Kualitas Udara Bertekanan (Compressed Air) Menurut ISO 8573-1 2010 Dan Penggunaannya

Compressed air system pada Pembangkit listrik (power plant) dibutuhkan untuk beberapa penggunaan diantaranya sebagai berikut:

  1. Instrument Air,   dibutuhkan untuk operasi Pneumatic Valve pada Power plant.
  2. Transport air,   pada power plant digunakan  pada fly ash handling system atau limestone handling system pada Circulating Fluidized Bed (CFB) Boiler Plant
  3. Service air,  digunakan untuk keperluan-keperluan servis atau pemeliharaan peralatan pada power plant

Tentunya, kualitas compressed air untuk ketiga jenis penggunaan diatas tidak sama. Terkait standard kualitas tersebut, menurut ISO 8573-1 2010 dibagi menjadi beberapa class sesuai tabel  berikut

Mengapa PLTU Supercritical lebih effisien?

Saat ini, effisiensi energi merupakan tema yang tidak dapat dipisahkan di setiap pembangunan di negara berkembang maupun negara maju. Di dunia ketenagalistrikan pun, tema effisiensi energi ini selalu digaungkan, termasuk didalamnya pemilihan jenis powerplant (pembangkit listrik).  Semakin effisien suatu jenis powerplant maka  maka secara teknis peluang untuk dipilih dan dibangun akan semakin besar.

Pembangkit listrik termal khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan semakin effisien ketika tekanan (pressure) dan Temperatur operasi uap (steam) semakin tinggi. Ketika Main steam beroperasi diatas titik kritis air (Pressure 221 Bar a dan Temperatur 374 ° C), maka PLTU tersebut disebut Supercritical Power Plant. Parameter Temperatur di hampir semua PLTU pasti diatas 374 deg C sehingga hanya parameter pressure yang menentukan suatu PLTU disebut supercritical atau subcritical. Jika pressure Main steam diatas 221 Bar maka disebut PLTU supercritical, sebaliknya jika dibawah nilai tersebut disebut subcritical.

pada gambar diatas dapat dilihat bahwa perubahan air menjadi uap pada PLTU Supercritical khususnya pada Boiler Supercritical tidak melewati fasa campuran. sedangkan pada boiler subcritical melewati fasa campuran seperti terlihat pada bagian kiri gambar diatas.

Apa yang membuat  PLTU supercritical  ini bisa dikatakan lebih effisien dibandingkan PLTU subcritical. Untuk menganalisanya,  dapat kita lihat dari Heat Balance Diagram dan Parameter Utama lainnya untuk dapat menghitung Turbince Cycle Heat Rate (THR), dan Gross Plant Heat Rate (GPHR).   mari kita bahas beberapa PLTU subcritical dan supercritical di indonesia

berikut  beberapa Data Heat Balance Diagram (HBD) PLTU Supercritical dan Subcritical di Indonesia

  1. HBD PLTU Supercritical 660 MW

Berikut Contoh Data HBD PLTU 660 MW  dari sumber Fabrikan China

Resume parameter utama di dalam HBD dan data lain dari PLTU diatas adalah sebagai berikut:

  • Main Steam Pressure : 242 Bar a
  • Main Steam Temperature : 566 ° C
  • Reheat Steam Pressure : 45.77 Bar a
  • Reheat Steam Temperature : 566 ° C
  • Final Feedwater Temperature : 286.9° C
  • Gross Output: 660 MW
  • Boiler Effisiensi : 84 % HHV Based
  • Desain Kalori Batubara: HHV 4000 kKal/kg (Ar)
  1. HBD PLTU Supercritical 860 MW

Berikut Data HBD PLTU 860 MW dari sumber Fabrikan Jepang

Resume parameter utama di dalam HBD dan data lain dari PLTU diatas adalah sebagai berikut:

  • Main Steam Pressure : 245 Bar a
  • Main Steam Temperature : 538 ° C
  • Reheat Steam Pressure : 47 Bar a
  • Reheat Steam Temperature : 566 ° C
  • Final Feedwater Temperature : 288.7° C
  • Gross Output: 860 MW
  • Boiler Effisiensi (guaranteed) : 86.7 % HHV Based
  • Desain Kalori Batubara: HHV 4800 kKal/kg (Ar)
  1. HBD PLTU Subcritical 315 MW

Berikut Data HBD PLTU 315 MW dari sumber Fabrikan China

Resume parameter utama di dalam HBD dan data lain dari PLTU diatas adalah sebagai berikut:

  • Main Steam Pressure : 166.7 Bar a
  • Main Steam Temperature : 538 ° C
  • Reheat Steam Pressure : 33.79 Bar a
  • Reheat Steam Temperature : 538 ° C
  • Final Feedwater Temperature : 277.5° C
  • Gross Output: 315 MW
  • Boiler Effisiensi : 86 % HHV Based
  • Desain Kalori Batubara: HHV 4500 kKal/kg (Ar)

Dengan menggunakan formula berikut:

Turbine Cycle Heatrate (THR) = (Qin Main steam+ Qin Reheat) /Gross Power Output      [kkal/kWh]
Gross Plant Heat Rate (GPHR) =  THR/ effisiensi Boiler     [kkal/kWh]

Dari hasil perhitungan menggunakan formula diatas dan data beberapa contoh  data pembangkit diatas dapat kita bandingkan hasilnya tabel berikut

PARAMETER PLTU Subcritical

315 MW

PLTU Supercritical 660 MW PLTU Supercritical860 MW
  • Nilai Kalori Batubara (GAR) Dalam [kkal/kg]
4500 4000 4800
  • Turbine Cycle Heat Rate (THR)  dalam [kkal/kWh]
1918 1857 1879
  • Effisiensi  Boiler (HHV )
86% 84% 86,7%
  • GPHR (HHV) [kkal/kWh]
2230 2211 2167
  • Gross Plant Effisiensi (HHV)
38,6% 38,9% 39,7%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa

  1. Turbine Cycle Heat Rate(THR) PLTU Supercritical lebih rendah dari PLTU Subcritical, artinya  energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kWh listrik pada PLTU Supercritical lebih kecil dibandingkan pada PLTU Subcritical. dengan kata lain  THR pada PLTU Supercritical lebih effisien/lebih baik dibandingkan PLTU subcritical
  2. Pada kasus diatas, Boiler effisiensi PLTU Subcritical 315 MW lebih baik dari PLTU Supercritical 660 MW, hal ini menandakan bahwa teknologi Supercritical tidak serta merta menjadikan effisiensi boilernya lebih effisien dari PLTU Subcritical.  Mengapa demikian ? karena Desain Boiler PLTU Supercritical 660 MW diatas menggunakan  spesifikasi batubara yang lebih rendah (4000 kkal/kg) dari PLTU Subcritical (4500 kkal/kg)
  3. Gross plant effisiensi dibentuk dari effisiensi siklus termal dan effisiensi boiler, sedangkan effisiensi boiler bisa dikatakan “given” dari spesifikasi batubara yang digunakan sehingga pilihan untuk mengeffisienkan suatu PLTU adalah pada siklus termalnya yaitu pemilihan menggunakan tipe PLTU Supercritical atau yang lebih tinggi lagi yaitu PLTU Ultra Supercritical

Kesimpulan yang dapat diambil terkait pertanyaan , mengapa PLTU Supercritical lebih effisien  adalah pada Turbine Cycle Heat Rate yang lebih baik dibandingkan jenis PLTU lainnya, bukan effisiensi pada Boiler Supercritical

Desain Pressure dan Wall Thickness Pipa Menurut ASME B31.1 Power Piping

Salah satu tahapan penting dalam mendesain pipa setelah ditentukan dimensi (diameter) pipa oleh Process Engineer, adalah menghitung wall thickness/ketebalan pipa. Ketebalan pipa hasil perhitungan digunakan  untuk memilih schedule pipa yang ada di pasaran.

Salah satu Code yang sering menjadi referensi desain piping untuk Pembangkit Listrik adalah ASME B31.1, yang merupakan bagian dari Code ASME B31 Pressure piping  tentang Power Piping.

Sebelum melangkah lebih jauh ke formula desain ASME B31.1, sebaiknya dicek pipa yang sedang dikalkulasi apakah sudah menjadi lingkup ASME B31.1. hal ini dapat dibaca di Chapter 1 scope and definition, sederhananya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

 

Pada gambar dapat dilihat garis pipa diatas dibagi menjadi tiga jenis:

  • Garis biasa, merupakan Piping dan Tubing pada Boiler, biasa disebut “ Boiler Proper” dan lingkup total dari Code ASME Boiler & Pressure Vessel (ASME BPV) baik dari teknikal maupun Hukum di Amerika
  • Garis tebal, merupakan Piping dari/ke Boiler biasa disebut “Boiler External Piping” (BEP) masih menjadi Lingkup Hukum dari ASME BPV, sedangkan aspek Technical mengikuti ASME B31.1
  • Garis putus-putus, merupakan piping yang biasa disebut “Non Boiler External Piping (NBEP)” dan merupakan lingkup hukum dan Teknis dari ASME B31.1

Kembali ke tema utama, berikut adalah formula untuk menghitung ketebalan pipa (wall thickness) menurut ASME B31.1 -2014:

wt formula

Sedangkan untuk design pressure formulanya sebagai berikut:

p formula

Dimana:

  • Tm          : minimum ketebalan pipa ( dalam in atau mm)
  • P             : Internal Design Pressure ( psig atau kPa)
  • Do          : Diameter luar pipa (in atau mm)
  • d             : Diameter dalam pipa (in atau mm)
  • S             : maximum allowable stress , lihat di Appendix A (psi atau MPa)
  • E             : Weld Joint efficiency
  • Y             : koeffisien y, lihat di tabel 104.1.2(A)
  • A             : allowance atau tambahan ketebalan, dengan tujuan untuk:
    • Milling tollerance, kompensasi akibat material yang hilang akibat proses threading, grooving, dan lainnya yang dibutuhkan dalam penyambungan
    • tambahan kekuatan pipa untuk mencegah kerusakan akibat terjatuh, lengkungan berlebihan dalam trasportasi atau konstruksi
    • erosi atau korosi

untuk mempermudah pemahaman, berikut contoh studi kasus:

main steam pipe dengan diameter yang sudah dipilih 6 ”, memiliki design pressure 60 Barg, Temperatur 500 deg C, dan material yang di Pilih SA 335 P11, berapa schedule pipa yang dipilih?

Jawab:

  • main steam pipe, termasuk kategori Boiler External Piping (BEP), sehingga masih termasuk lingkup teknis ASME B31.1
  • P = 60 barg = 6000 kPa
  • Do : diameter Luar untuk Pipa 6” menurut ASME B36.10M adalah 168,3 mm
  • Material SA 335 P11 , merupakan spesifikasi Pipa seamless, low alloy steel

Untuk pipa seamless, nilai koefisien , E =1.0,sedangkan Nilai S akan menurun jika temperature designnya semakin tinggi, pada Temperature 500 deg C, maka dapat dilihat pada Tabel A-2 dibawah

 

Pada T = 500 deg C = 932 deg F  dibulatkan 950 deg F, didapatkan nilai S = 9.3 kSi = 64121.24 kPa

  • Koeffisien y berdasarkan table dibawah, untuk ferritic steel , Temperature 500 deg C maka nilai y=0.5

  • Sedangkan untuk allowance A, Corrosion allowance diambil 1,5 mm dan milling tollerance 12,5 %

Sehingga jika dihitung dari formula diatas didapatkan nilai ketebalan pipa minimum tm berikut:

t
(mm)

+ milling Tolerance
12,5%
+ Corr Allowance
1,5 mm
tm
(mm)

7,52

0,94 1,5

10,0

Tebal minimum yang didapatkan adalah 10 mm, kemudian berdasarkan ASME  B36.10M  dapat dipilih  pipa 6”  schedule 80 dengan ketebalan standard 10,97 mm

 

 

Kapasitas Grab Type Ship Unloader dan Jetty Conveyor

Pada suatu powerplant khususnya PLTU berbahan bakar batubara, dibutuhkan fasilitas unloading/pembongkaran batubara yang dikirim dari kapal (Vessel) atau Tongkang (Barge). artinya dibutuhkan pelabuhan (jetty) dan peralatan untuk pembongkaran. untuk PLTU skala kecil mungkin hanya dibutuhkan excavator dan Dump Truck tetapi untuk PLTU skala menengah dan besar akan sangat tidak efektif, sehingga dibutuhkani ship unloader dan jetty conveyor. Saat ini tipe ship unloader yang cukup banyak digunakan adalah grab type ship unloader.

Berbeda dengan tipe contineous ship unloader ataupun conveyor dimana kapasitasnya mudah didefinisikan, grab ship unloader yang bekerja secara intermitent tidak lah mudah untuk menentukan kapasitasnya.

Pada grab unloader, ada istilah cycle time atau waktu yang dibutuhkan  Grab mengambil material- membawa menuju hopper hingga kembali mengambil material lagi. Sehingga untuk 1 jam operasi terdapat berapa kali cycle dikali tonase material yang diangkut 1x cylce adalah Kapasitas grab ship unloader. Dan ternyata cyle time sendiri bisa bervariasi tergantung berbagai kondisi yang terjadi akibat perbedaan pasang surut, kondisi muatan, posisi pengambilan di kapal, maupun skill operatornya. Oleh karena itu dikenal 3 istilah kapasitas grab ship unloader yang umum yaitu maximum capacity, free digging capacity, dan average capacity.