Kurang Energi, (harusnya) Sudah Tidak Jaman

Oleh : M. Ari Mukhlason

Indonesia adalah Negara kepulauan, dengan jumlah pulau terbanyak di seluruh dunia. Tercatat tidak kurang dari 13.000 pulau ada di Negara kesatuan republik Indonesia. Membentang dari pulau weh sampai pulau Irian. Dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud sampai Nusa Tenggara Timur.

Listrik, sebagai kebutuhan dasar manusia modern adalah bentuk konversi energi yang paling universal sifatnya dan menjadi salah satu hak warga Negara Indonesia. Di sini dikatakan sebagai bentuk energi yang paling universal, karena dari energi listrik bisa diubah menjadi bermacam-macam bentuk energi yang lain seperti energi panas (mesin las, kompor, pemanas air, dkk), gerak dan putaran (motor listrik, kipas angin), dan berbagai macam peralatan manusia modern yang sangat banyak ragam, jumlah dan fungsinya.

Energi listrik yang diperoleh manusia di muka bumi dari pembangkit listrik dan dikelola secara komersial di antaranya dari : Pembangkit Listrik Tenaga Air – PLTA, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Minyak / Batu Bara – PLTU, PLT Mikro Hidro – PLTMH, PLT Angin, PLT Gas, PLTGU (PLT gas dan Uap), PLT Panas Bumi (Geo Thermal), PLT Nuklir dan PLT Diesel.

Dari perubahan bentuk energinya, dapat kita pisahkan menjadi beberapa kelompok :
1. Dari energi potensial menjadi kinetic gerak turbin : PLT Air, Angin, Mikro Hidro.
2. Dari energi panas digunakan untuk mendidihkan air di dalam boiler / ketel uap : PLTU minyak / batu bara, PLT Nuklir, PLT Panas Bumi.
3. Dari energi panas hasil pembakaran digunakan langsung untuk memutar turbin : PLT Gas yang menggunakan turbin gas yang merupakan turunan dari mesin pesawat jet (mesin aeroderivative).
4. Kombinasi nomor 2 dan 3 : yaitu PLT Gas dan Uap yang merupakan kombinasi dari PLT Gas dan PLT Uap (Combine Cycle). Gas buang dari mesin turbin gas yang masih panas dipergunakan untuk memanaskan air dalam boiler. Uap panas dari boiler dipergunakan untuk memutar turbin uap.
5. Serupa dengan nomor 3, yaitu PLT Diesel dengan mengubah energi pembakaran minyak solar menjadi energi gerak pada silinder thorak yang digunakan untuk memutar dynamo / rotor.

Dari masing-masing pembangkit di atas di Indonesia semuanya sudah beroperasi secara komersial selain PLT Nuklir yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini.

Secara sekilas, PLT Air dan mikro hidro menggunakan energi potensial air yang dibendung dan memiliki beda tinggi dengan turbin yang akan diputar. Semakin tinggi perbedaan ketinggian dan semakin besar debit air yang dipergunakan, maka semakin besar pula energi listrik yang dapat terbangkitkan. Perbedaan mendasar antara PLTA dan Mikro Hidro adalah dari debit air yang dipergunakan sehingga besar daya listrik yang dapat dibangkitkan juga berbeda kelasnya. Jika PLTA ada di kisaran Mega Watt, maka mikro hidro ada di kisaran kilo Watt. Mikro hidro dapat diterapkan dengan memanfaatkan aliran sungai dengan debit kecil, sehingga efektif jika digunakan di daerah2 pegunungan yang memiliki debit air sungai tetap. Terlebih jika di daerah yang bersangkutan belum dialiri listrik. Keberadaannya cukup membantu tersedianya aliran listrik.

Adapun untuk PLTA, karena harus menggunakan debit air yang luar biasa besar, harus dibangun bendungan sebagai reservoir / tandon air. Pembangunan bendungan seringkali membawa dampak ekonomi dan sosial yang luar biasa luasnya. Berapa banyak desa dan kecamatan yang harus tergusur karena harus terendam air bendungan. Opsi membangun PLTA ini kurang menjadi perhatian yang menarik karena efeknya yang begitu luas tadi serta ganti rugi lahan yang juga sangat besar.

PLTD diesel, rata-rata sudah beroperasi puluhan tahun di Indonesia dan menjadi penyuplai terbesar listrik di Indonesia, khususnya di daerah-daerah terpencil dan di wilayah-wilayah kepulauan. PLTD memiliki keunggulan dengan kemudahan dan kecepatan pemasangannya, juga kecepatannya untuk mengaliri listrik ke jaringan transmisi dari kondisi mati total (blackstart). Jika Pembangkit yang lain memerlukan waktu beberapa jam untuk masuk ke jaringan, PLTD hanya membutuhkan paling lama sekitar 1 jam. Namun, di tengah semakin tidak menentunya harga minyak dunia, menggunakan solar sebagai bahan bakar menjadi pilihan yang kurang menarik karena memerlukan biaya besar untuk pembelian solarnya. Tentunya akan memperbesar subsidi yang diberikan oleh pemerintah.

Untuk PLT Angin, di Indonesia yang merupakan daerah dengan lintang rendah (tropis), energi yang terbangkitkan tidak sebesar Negara-negara lintang tinggi (subtropis). Ini karena kecepatan angin maksimal hanya ada di kisaran 6 meter/detik, yang inipun hanya ada di daerah Nusa Tenggara timur. Sebagai contoh kasus, jika di Belanda atau Amerika Serikat dengan diameter propeller sebesar 90 meter, di Indonesia harus menggunakan propeller dengan diameter 3 kali lebih besar untuk menghasilkan daya yang sama. Namun seharusnya ini tidak menjadikan kendala dalam merancang bangun propeler yang mampu menghasilkan daya maksimal dengan kecepatan angin minimal.

PLTU berbahan bakar minyak, seperti yang ada di Tanjung Priok, adalah pembangkit yang mendidihkan air dalam ketel / boiler menggunakan bahan bakar minyak / solar. Sebagaimana PLTD, tingkat keekonomian pembangkit ini kurang menarik karena berbiaya tinggi juga. Langkah yang dilakukan untuk mengurangi biaya operasional antara lain dengan melakukan konversi bahan bakar ke minyak berat / minyak sedang (Heavy Fuel Oil – HFO / Medium Fuel Oil – MFO).

Terdapat pula PLTU berbahan bakar gas, seperti yang ada di Jakarta. Tetapi karena pasokan gas tidak memadai karena lebih utama untuk industri, terpaksa digunakan solar sebagai bahan bakar. Imbasnya adalah pada turunnya daya pembangkitan yang cukup signifikan.

* Pembangkit listrik batu bara fokus proyek 10.000 MW tahap pertama
PLTU Batu bara menjadi salah satu opsi pembangunan pembangkit dalam program 10.000 MW tahap pertama. Pertimbangan logis yang dipergunakan, yaitu dari melimpahnya sumber daya alam batu bara di Indonesia, dengan tingkat kalori menengah dan tinggi. Batu bara kalori tinggi > 6000 kCal/kg mayoritas berada di pulau Sumatera dan Kalimantan Timur. Adapun kalori menengah antara 3700 s/d 6000 kCal/kg kebanyakan berada di pulau Kalimantan (Tengah dan Selatan). Pertimbangan yang lain untuk membangun PLTU batu bara, yaitu teknologi yang diperlukan tidak perlu secanggih teknologi pembangkit lainnya, yang otomatis jika anak-anak bangsa mulai membuat, tidak memerlukan waktu lama / kurang dari sepuluh tahun.

PLTU batu bara 10.000 MW yang sudah memasuki tahap uji coba jaringan adalah PLTU Labuan, Pandegelang Banten dengan kapasitas 2 X 315 MW. Ukuran terbesar PLTU Batu bara yang pernah dibangun di Indonesia adalah 600 MW yang berada di PLTU SUralaya, Merak Banten. Adapun yang terbesar dan dalam proses pembangunan, adalah PLTU Pemalang, dengan kapasitas pembangkitan 1000 MW, menggunakan boiler bertipe superkritikal, karena memiliki temperatur dan tekanan operasi yang ekstrim dan uap airnya berada pada fasa superkritis.

Kebanyakan PLTU batu bara dibangun di tepi pantai. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah lalu-lintas bahan bakar batu bara dan juga suplai kebutuhan air pendingin yang merupakan kebutuhan utama pembangkit. Menurut istilah salah seorang kawan, PLTU Batu bara memiliki kebutuhan pokok : Makanan sehari-hari adalah batu bara, dan minumannya berupa air pendingin. Air pendingin dapat berupa air laut maupun air tawar. Jika menggunakan air laut, kebanyakan tipe pendinginan yang dipergunakan adalah tipe pendinginan sekali lintas atau once through cooling. Air laut bersuhu maksimal 32oC masuk ke dalam system pendinginan dan mendinginkan komponen-komponen utama terutama condenser, lalu ke luar dengan suhu kurang dari 40oC. Jika pembangkit menggunakan air tawar sebagai pendinginnya, diperlukan pengolahan yang agak kompleks karena air pendingin tersebut akan diputar dalam siklus sebagai pendingin.

Untuk PLTU 10.000 MW yang berada di pulau Jawa, rata-rata memiliki daya pembangkitan 300 MW – 1.000 MW, sesuai dengan kebutuhan listrik yang luar biasa besar dan terus tumbuh di jaringan JaMali (Jawa Madura Bali). Sedangkan untuk di Pulau Sumatera, berkisar antara 100 MW – 300 MW, sesuai pula dengan kebutuhan daya di sana. Adapun untuk Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, ada di kisaran 100 MW, sedangkan yang lainnya di bawah 25 MW. Irian Jaya 50 – 100 MW, Kalimantan di kisaran 25 – 100 MW. Sedangkan di kepulauan lainnya pada bilangan belasan mega watt.

Sebagai contoh, PT Rekadaya Elektrika, dengan pemegang saham mayoritas PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), PT Indonesia Power (IP) dan PT Rekayasa Industri (Rekin), saat ini sedang membangun empat PLTU skala kecil di Ende NTT, Tanjung Balai Karimun – Kepulauan Riau, Tidore – Maluku Utara masing-masing (2 x 7 MW), dan di Kendari – Sulawesi Tenggara 2 x 10 MW. Sedangkan untuk PLTU skala besar, Rekadaya Elektrika berperan sebagai supervisor engineering, pada PLTU Labuan – Banten, PLTU Pacitan – Jatim kapasitas 2 x 315 MW, dan PLTU Teluk Naga – Tangerang 3 x 315 MW.

* Pembangkit 10.000 MW tahap ke-dua
Pencanangan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap ke-dua difokuskan pada pembangkit listrik dengan energi terbarukan (renewable energy), antara lain PLT Mikro Hidro dan Panas Bumi.

* PLT Panas Bumi dan Mikro Hidro
Teknologi pembangkit panas bumi lebih kompleks dibandingkan PLTU batu bara. Ini dikarenakan pada proses pencarian sumber panas bumi, harus dilakukan uji potensi panas bumi yang harus melibatkan ahli-ahli geologi dan pengeboran. Energi panas bumi yang berada di dalam bumi, kebanyakan berada di lingkungan gunung berapi, dibor untuk kemudian dimasukkan pipa yang berisi air murni bebas mineral (demineralized water) yang kemudian dididihkan di dalam kawah bumi. Uap air yang sudah mendidih tadi kemudian dipisahkan pada separator, dan kemudian uap murni kering yang sudah terpisah dipergunakan untuk memutar turbin.

Indonesia, sebagai Negara kepulauan dengan potensi gunung berapi yang sangat luar biasa banyaknya, terbanyak dari Negara manapun di dunia, memiliki potensi untuk mengeksplorasi panas bumi yang sangat berlimpah. Diawali dengan PLTP Kamojang Garut, Dieng Temanggung, Darajat Jawa Barat, dan beberapa tahun yang lalu karya anak bangsa yaitu PLTP Lahendong. Untuk dapat dibangun sebuah pembangkit panas bumi, diperlukan studi yang mendalam pada beberapa hal, seperti yang diceritakan oleh Ir. Priyono HP, seorang ahli dari PT PLN. Studi mendalam tersebut di antaranya :
– Terdapat cadangan air / reservoir baik melalui sumber air ataupun resapan yang secara kontinyu sepanjang tahun mengalir menuju daerah panas melalui lapisan batuan berpori / porous.
– Cadangan air di atas terisolir dengan baik oleh lapisan tanah atau batuan sehingga terjebak atau tidak mengalir ke tempat lain
– Untuk memastikan kontinuitas aliran air, daerah resapan atau tangkapan air hujan yang biasanya di atas daerah panas bumi harus diamankan dari penebangan-penebangan. Vegetasi / tanaman / tumbuhan harus tetap dibiarkan tumbuh dan dipelihara.

Adapun untuk PLT Mikro Hidro, energi yang mampu dibangkitkan biasanya mencukupi untuk suatu kluster daerah tertentu, semisal lingkup kampung. Ini dikarenakan besarnya debit air dan beda tinggi yang merupakan syarat utama untuk menghasilkan energi (energi potensial diubah menjadi energi kinetik dan kemudian menjadi energi listrik). Kapasitas pembangkitan PLTMH juga dipengaruhi oleh musim, bila musim hujan tentunya kapasitas membesar, dan di musim kemarau menjadi lebih kecil.

* Pembangkit listrik tenaga Surya (PLTS)
Pembangkit listrik tenaga Surya (PLTS) atau yang biasa dikenal dengan Solar Cell / Photovoltaic, menggunakan matahari sebagai energi utama. Sinar matahari dipergunakan untuk memindahkan muatan dari satu elektroda ke elektroda lain melalui cairan elektrolit yang terdapat dalam sel surya. Indonesia sebagai negara tropis yang sepanjang tahun dilalui matahari, sudah selayaknya memerdekakan diri dari sisi energi dengan menggunakan sel surya untuk energinya. Keunggulan sel surya ini adalah mudah dipasang, hanya memerlukan sedikit perawatan, alat-alat relatif sedikit (dengan pelengkap berupa voltage regulator / pengatur tegangan, aki, serta inverter untuk mengubah arus searah menjadi bolak-balik). Desain rumah tinggal di Indonesia yang masih menggunakan tipe penyebaran pemukiman secara horizontal memungkinkan setiap rumah untuk dipasangi sel surya. Keunggulan ini semakin bertambah seiring dengan maraknya teknologi alat-alat hemat energi seperti TV LCD, motor-motor listrik berdaya rendah, serta lampu LED superterang yang hemat energi.

Kendalanya, teknologi pembuatannya masih dikuasai segelintir pihak dan terutama oleh negara-negara maju, sehingga harga jualnya masih dikendalikan oleh mereka. Padahal, material utama sebagai bahan baku pembuatan sel surya, sangat melimpah ruah di negara kita. Bahan baku utamanya adalah pasir silika sebagai bahan silikon untuk elektroda positif dan negatif sel surya. Maka, tantangan besarnya adalah untuk segera menguasai teknik produksi sel surya dengan harga murah, proses cepat dan mudah, serta mengembangkan industri alat-alat pendukung yang sedikit banyak sudah banyak berada di Indonesia.

Kendala lain, bila memasuki musim penghujan, intensitas sinar matahari yang diterima relatif berkurang. Namun hal itu bisa diatasi bila dipasang sel surya sedikit lebih banyak dibandingkan kebutuhan agar dapat menghasilkan energi lebih. Atau, bila berada di daerah yang memungkinkan adanya sumber energi listrik lain, bisa dikombinasikan. Contoh yang sangat kreatif dan pernah diliput salah satu media televisi berada di kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Di daerah itu yang belum dimasuki jaringan PLN, digunakan kombinasi pembangkit tenaga surya dan mikro hidro. Bila hari mendung dan hujan (terutama musim penghujan), yang banyak memberikan energi adalah PLTMH, sedangkan bila di musim kemarau banyak digunakan PLTS. Benar-benar solusi yang sangat cerdas.

* Sumber Energi Lain
Selain pembangkit listrik di atas, yang belum dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit listrik yang menggunakan ombak dan pasang surut air laut sebagai penggerak. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Selain garis pantai, pasang surut ombak yang terjadi juga cukup tinggi. Di saat-saat tertentu, mencapai lebih dari 4 meter. Teknisnya adalah dengan membangun bendungan yang digunakan untuk menampung air pasang, kemudian ketika air surut, dengan debit tertentu pintu air dibuka dan dialirkan untuk memutar propeler / turbin air. Turbin yang dipergunakan untuk mampu mengkonversi aliran air pasang maupun surut adalah tipe vertikal. Ada satu nama turbin yang cukup fenomenal, yaitu turbin Gorlov. Ini adalah turbin vertikal berulir / heliks. Mampu mengkonversi energi gerak dengan sangat efektif. Dengan panjang garis pantai yang luar biasa panjang tersebut, kapasitas daya pembangkitan juga sangat luar biasa. Di negara lain sudah ada beberapa tempat yang menggunakan pembangkit tipe ini.

Maka, sudah seharusnya kita yang tinggal di negeri bernama Indonesia ini merdeka dan bebas dari kungkungan kekurangan energi. Dan seharusnya, peran aktif pemerintah dan masyarakat dengan segala bentuk kerja sama dan lembaganya (kampus, LSM, departemen ESDM, PLN, BPPT, LIPI, LAPAN, BATAN, dan sejenisnya) dapat bersatu padu memerdekakan diri dari kekurangan energi.

*) Muhammad Ari Mukhlason
Alumni Teknik Penerbangan ITB
Engineer di Rekadaya Elektrika, Indonesia Power & Perta Daya Gas

son@mukhlason.com

4 Responses to Kurang Energi, (harusnya) Sudah Tidak Jaman

  1. rubadi says:

    Setuju mas, indonesia punya banyak sumber energi yang berlimpah. Tp, masih belum maksimal pengelolaan dan penggunaannya. Info aja, di Kaltim yg merupakan lumbung batubara, masalah mati listrik merupakan hal yang biasa. Ironis skali….

  2. abdul manan says:

    pltu kaltim 110MW kontraktor adhi karya belum operasi ya

  3. suwadi says:

    mohon izin untuk dapat down load data menghitung heat rate pltu tks

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *